Peran Opini dalam Kiprah Masyarakat

Peran Opini dalam Kiprah Masyarakat         

Setiap masyarakat memiliki haknya untuk berpendapat, baik secara lisan, tulisan maupun tindakan. Apalagi pada masa demokrasi saat-saat ini yang sering disebut-sebut sebagai masa kebebasan. Kebebasan yang dimaksud adalah keleluasaan berbuat sesuatu tanpa ada tekanan, gangguan, hambatan atau paksaan dari orang lain.

Dengan adanya kebebasan yang terjadi sekarang ini kita bisa membaca koran di mana pun dan kapan pun. Apalagi sejak adanya kemajuan teknologi, kita bisa mengakses berita dengan lebih mudah dan up to date. Seperti yang sering kita lihat dalam surat kabar yang beredar setiap harinya, pasti kita akan melihat rubrik khusus untuk kolom, pendapat, tajuk rencana, opini, karikatur, pojok, dan artikel. Hal ini adalah sebuah bukti dari kebebasan mengeluarkan pendapat. Hal di atas bukan tanpa pengaruh.

Saya pernah membaca sebuah artikel mengenai betapa dahsyatnya pengaruh sebuah tulisan yang dituliskan oleh seorang wartawan pada surat kabarnya, dan saya tertarik mengutip kata-kata dari Napoleon yang pernah mengeluarkan statement. “Saya Napoleon tidak takut dan mampu melawan ribuan musuh. Namun, saya takut dan gamang jika berhadapan dengan penulis (wartawan).” 

Ketika membaca artikel itu, ada sedikit tersirat pertanyaan mengenai seberapa besar pengaruh sebuah tulisan? Berapa besar pengaruh kritikan yang dilontarkan untuk petinggi negara? Saya sempat mengingat mengenai pers pada masa orde baru, masa di mana pers saat itu merasa sangat dikekang, tidak dapat menjalankan fungsinya dengan baik, bahkan pada masa itu pers hanya menjadi sebuah boneka penguasa. Tidak ada yang berpendapat, tidak  ada yang mengkritik.

Mengingat akan kejadian tersebut, mungkin jika saat itu pers bisa berbicara, akan menampung pendapat orang banyak, mengritik dan menyebarkannya ke seluruh Indonesia. Mungkin saja penderitaan masyarakat pada  masa orde baru tidak akan selama 30 tahun lebih.

Jika dibandingkan dengan masa orde baru, pada masa reformasi sekarang ini. pers yang dahulunya hanya boneka untuk pemerintah, kini pers telah bebas untuk mengaspirasikan pendapat, mengkritik secara gamblang atau secara halus dan memberitakan semua peristiwa.

Mungkin jika kita membaca surat kabar, kita akan selalu menemukan rubrik khusus kolom, pendapat, tajuk rencana,  opini, karikatur, pojok, dan artikel. Pada tulisan-tulisan tersebutlah kita bisa membuka mata kita untuk satu sisi lain kejadian yang ada atau tentang kinerja pemerintah. Pada rubrik itulah seorang redaktur mewakili masyarakat dapat menyalurkan pendapat atau kritikan pada suatu peristiwa yang sedang terjadi. Tentu hal tersebut sangat berbeda pada masa orde baru, bukan? Tulisan-tulisan yang disebar melalui media surat kabar tentu saja memberikan dampak terhadap masyarakat.

Dampak yang sangat jelas dalam hal ini adalah terciptanya opini publik. Tak bisa dipungkiri terciptanya opini publik tersebut adalah dampak yang pasti terjadi ketika suatu media membeberkan suatu berita atau mengkritik kejadian ganjal yang dibuat oleh pemerintah. Namun, pertanyaannya adalah apakah opini publik sama dengan opini masyarakat? Menurut saya jawabannya adalah belum tentu, karena dalam hal ini seperti yang saya sudah katakan di atas tadi bahwa media lah yang memaksa agar opini tersebut terus berkembang di masyarakat. Jika kita memperhatikan saat ini di Indonesia, para raja media bisa dibilang bergerak untuk menguasai Indonesia.

Saat ini media adalah kontrol sosial, pergerakan sosial, dan pergerakan pemikiran. Kita dapat menguasai dunia dan masyarakat. Sekarang ayo kita telaah ulang fenomena yang terjadi di Indonesia, saya akan meberikan contoh kecil yang sangat nyata terjadi pada media kita. Saat ini yang harus dikuasai oleh penguasa yang berkepentingan adalah strategi opini publik yang terus dipaksa pada masyarakat agar berkembang dengan sendirinya, dan salah satu caranya adalah menguasai media.

Masih ingat berapa media massa baik surat kabar, televisi dan radio yang diciptakan untuk kepentingan pribadi? Kali ini media tersebut berhasil menjarah opini publik dengan se pihak. Hal ini sangat menyedihkan dan menyeleweng dari tugas kebebasan pers yang seharusnya tidak memihak oleh satu institusi saja.

Masih ingat kasus kriminalisasi dua pimpinan KPK, Bibit-Chandra, yang amat marak di media saat itu. Kasus yang kemudian meluas dengan sebutan “Cicak vs Buaya”, yang secara implisif menyimbolkan pertarungan antara KPK dengan Polri, mendapat perhatian amat besar dari masyarakat. Dimotori oleh media-media massa nasional yang mengangkat topik ini ke permukaan, dengan adanya pemberitaan dan opini yang beredar di masyarakat, muncullah masyarakat yang kemudian marak mendiskusikan kasus tersebut melalui jejaring sosial.

Contoh jejaring sosial seperti Facebook, muncul beberapa group yang isinya memberikan dukungan kepada Bibit-Chandra dalam menghadapi kriminalisasi yang dilakukan terhadap KPK. Arus dukungan rakyat semakin besar, hingga pemerintah pun merasa terdesak, dan meminta kasus Bibit-Chandra untuk dihentikan pengusutannya.

Tentu saja hal ini terjadi bukan hanya di Indonesia tapi di negara-negara barat juga. Saya akan memberikan contoh kecil dalam hal ini adalah Hamas. Hamas adalah pembela tanah air di Palestina karena negaranya dijajah. Namun karena pemberitaan dan tulisan yang ada di negara barat itu hanya mengambil sisi buruknya saja, maka terciptalah opini pada negara tersebut bahwa Hamas adalah teroris. Jangan salah dampak hal seperti ini sangat luar biasa, hampir semua orang terpedaya oleh opini tersebut.

Begitu besar memang dampak yang diberikan oleh opini, bukan? Termasuk media internet, seperti  blog, twitter, dan facebook yang secara tidak langsung akan mengubah pandangan kita dan membuat opini masyarakat.

Ingatkan kasus seperti Gerakan 1.000.000 Facebookers bebaskan Bibit dan Chandara, gerakan tolak konten RPM? Orang bunuh diri gara-gara komentar facebook, koint Prita dan Bilqis, dan masih banyak lagi. Kebebasan yang terjadi untuk menyalurkan pendapat memang memberikan banyak dampak positif, namun jika semua dilakukan di luar batas dan tidak berimbang, maka akan menjadi bumerang untuk media yang menyebarkan atau untuk kita yang berkomentar. Setidaknya perang opini adalah perang terbaik yang dilakukan daripada perang fisik. (*)

*  Kabar Indonesia

 

Peran Opini dalam Kiprah Masyarakat         

You May Also Like

About the Author: Kabar123

Blogger penyebar informasi dunia online

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *